Memang Tiada Tara





Suara takbir telah bergemuruh di pelosok negeri mulai semalam hingga menjelang siang, bersahut-sahutan menyebut kebesaran Tuhan.

Ada pemandangan yang berbeda dari pojok kota. Kota yang terbentang jarak begitu jauh dan lautan yang begitu luas. Ada sebuah kerinduan yang tiba-tiba pecah secara serentak ketika suara takbir menjadi penanda sebuah ingatan untuk berharap bertemu.

Perlahan-lahan, air mata jatuh tanpa unsur kesengajaan ketika mengingat hangatnya kebersamaan. Mereka yang benar-benar jauh dari jangkauan atau yang sudah menyatu dengan bumi.

Dalam ratapan, aku masih menjadi tawanan.
Tawanan dari sebuah keterpaksaan karena lagi-lagi terkait urusan ekonomi, tawanan dalam menempuh sebuah pendidikan yang membuatku pantang pulang sebelum semua terselesaikan. Apalagi semenjak adanya pergulatan antara daya tahan tubuh dengan virus yang mematikan.

Aku masih mencoba untuk mewujudkan kata tegar dan menanamkan dalam diri bahwa aku mampu melewati ini semua tanpa sanak saudara. Namun, yang sering kali aku patah dalam meyakinkan diri ini adalah ketika aroma masakan ibu yang selalu terbayang dan mengganggu dalam pikiran. Biasanya di hari lebaran seperti ini, rasa opor ayam khas
buatan ibu memang tak ada tandingannya dan memang tiada tara.

Dari kejauhan, aku menahan kerinduan untuk lekas pulang!

Doaku untukmu, semoga masih ada sisa waktu untuk kita bertemu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mursyidah Auni

Awal dalam mengawali kegiatan (Fatihah)

Reti Suryani