Sempat Oleng
Sempat Oleng
Ini kisah berawal dari suatu tempat ngopi di depan Kampus Biru. Tempat yang begitu nyaman buat ngobrol sambil menikmati pemandangan lalu lintas dari atas lantai dua yang terbuat dari papan pohon bambu. Saya rasa bukan tentang hidangan enak tidaknya kopi atau kue yang disuguhkan di sini. Akan tetapi, mungkin itu hanya sebatas pembantu saja dalam proses kita tukar tambah pemikiran.
Berawal dari janjian untuk saling pinjam-meminjam buku, sebuah obrolan dimulai dari layar gawai untuk saling mwmberi tahu terkait buku yang akan dipinjam. Setelah bersepakat, baru kita tentukan lokasi untuk menukar buku tersebut.
Malam pun berlalu, pagi menjelang. Sebuah buku yang mau dipinjam sudah saya masukkan ke dalam tas dan bergegas menyalakan motor untuk berangkat ke lokasi. Setibanya di lokasi, saya menunggu sebentar seseorang yang belum datang.
Selang beberapa menit, gawai saya berbunyi dan telihat sebuah panggilan masuk dari dia yang sudah berada di sekitar lokasi warkop tersebut. Saya angkat itu gawai dan saya beri tahu kalau saya sudah menunggu di lantai dua. Dia pun bergegas nyamperin saya dengan membawa buku di tangannya.
Sesampai di lantai dua, kita saling bertegur sapa dan menukar buku. Setelah itu dilakukan, barulah pembicaraan kita mulai.
Dimulai dari topik yang ringan-ringan, dan ada juga pembahasan terkait feminisme, sosial, agama, sampai sejarah tentang kehidupan masa-masa sekolah dulu lengkap dengan cerita asmaranya. Hehe....
Pembicaraan tersebut mengalir begitu saja layaknya air dan tidak terkesan dibuat-buat maupun di setting sebelumnya.
Kita saling menguak sisi sejarah kita masing-masing sewaktu di sekolah. Tak tahu kenapa, tiba-tiba topik pembicaraan menuju pada kisah asmara, yang di sana terdapat cinta, kegilaan, pengorbanan sampai menjadi korban atas sebuah perasaan yang terlanjur jatuh pada seseorang yang ternyata seseorang tersebut lebih memilih berkhianat dan menikah dengan orang lain yang tak lagi sama dengan sumpah serapahnya dahulu ketika diucapkan.
"Sedih iya, larut jangan!"
"Maaf, iya, lupa tidak!"
Ujar dia sambil berkaca-kaca dan menatap langit-langit pada atap warung kopi tersebut ketika pembahasan mulai mengarah pada sebuah perasaan.
Dia bercerita bahwa pada masa itu sempat hilang kendali, semangat, gairah, oleng, dan cenderung mengurung diri dalam kamar berhari-hari dengan tidak makan karena sebuah perasaan yang begitu mendalam yang telah diberikan kepada seseorang, akan tetapi tak sejalan karena sebuah alasan orang tua yang kurang setuju atas hubungan asmaranya.
Dari teman sampai kerabat, tak mampu dan tak bisa mengembalikan semanagat atas seseorang tersebut yang sudah dikecewakan hatinya. Hingga pada suatu waktu, masih dalam keadaan mengurung diri, keajaiban itu terjadi. Ketika ada seseorang yang bilang secara petlahan "Mana sifat seseorang yang aku kenal dahulu. Seseorang yang selalu ceria sebelum mengenal yang namanya cinta, orang yang begitu kuat dalam menghadapi sebuah persoalan yang mendera, dan orang yang selalu menjadi juara!"
Tampaknya dengan kalimat itu, seseorang tersebut mulai mendapatkan secercah harapan kembali untuk melanjutkan hidup (meskipun masih dalam keadaan berkabung). Perlahan-lahan, orang tersebut mulai bangkit dan bersifat legowo atas derita yang dialaminya.
Karena saya mau masuk kuliah, akhirnya dengan berat hati saya tidak melanjutkan tulisan ini atau lebih tepatnya mengakhiri tulisan ini karena saya takutkan Anda terbawa perasaan. Hihi...
Pokok intinya adalah di atas kesuksesannya pada hari ini, dia pernah mengalami sebuah badai dalam kehidupan yang membuat terjatuh, terlunta-lunta, hingga hampir bunuh diri. Sisi positifnya adalah sebuah pembelajaran yang begitu berharga ketika sebuah persoalan dapat kita lewati dan kita menjadi seorang pemenang. Karena Tuhan pun Maha Segala Tahu tentang seberapa kuat dan berat cobaan yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya.
Semoga kita semua senantiasa bisa menangkap setiap makna atas sebuah kejadian, peristiwa, serta persoalan dalam kehidupan ini dan dapat menemukan sebuah solusi-solusi yang solutif.🙏😊
Komentar
Posting Komentar