Yang Tua Yang Merelakan


Sudah saatnya perubahan itu kita sambut dengan gegap gempita setelah sekian lama suatu sistem yang membosankan telah menjajah dari generasi sampai generasi hingga saat ini. Pepatah pernah mengatakan bahwa setiap pemimpin ada masanya dan setiap masa ada pemimpinnya. Seyogianya pepatah tersebut dapat diejawantahkan ke dalam jiwa, serta perilaku dari para pemimpin-pemimpin kita yang terlihat rambutnya mulai beruban secara merata. 

Suatu perubahan yang tidak dapat dielakkan lagi ketika warna rambut kepala mulai memutih dan kulit mulai membentuk kerutan-kerutan. Setidaknya itu pertanda dari Tuhan Yang Maha Tunggal untuk melakukan hal-hal yang putih, menyeru kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar. 

Tampaknya tanda-tanda itu kurang bisa ditangkap oleh pancaindra beliau dan cenderung tidak diindahkan karena mungkin ketakutan-ketakutan apabila posisi dalam pekerjaannya digantikan atau tergantikan oleh orang lain serta mungkin juga takut apabila tidak bisa makan. 

Matahari terus bersinar di pagi hari dan tenggelam pada sore hari. Alam sebenarnya sudah menggambarkan dengan jelas bahwa sinar matahari pun harus redup ketika senja mulai menyapa dan berganti dengan adanya malam hari. Sama halnya dengan usia, ketika usia senja seyogianya harus lebih wawas diri dan baiknya bersedia menanggalkan tampuk kepemimpinan ini serta mengkader generasi selanjutnya. 

Tak ada yang abadi selain ketidakabadian itu sendiri. Selain Dia sesungguhnya kita adalah wayang-wayang yang telah diatur ceritanya oleh sang dalang. Tapi terkadang, seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya di dunia ini. 

Yang tua yang merelakan!

Apakah bapak tidak berkeinginan untuk lebih meluangkan waktu serta menghabiskan usia senja demi keluarga yang tercinta? Pagi hari dengan hanya menyirami bunga-bunga di halaman rumah, momong (mengasuh) cucu-cucu yang lucu, dan mendongeng demi cucu untuk tertawa. Sungguh itu kesibukan yang lebih baik dibandingkan dengan nafas yang mulai ngos-ngosan akibat menaiki tangga demi tangga untuk tetap mengabdi. 

"Apakah saya tidak boleh mengabdi nak? " Dengan suara pelan-pelan kita menjawab, "Tidak ada larangan buat bapak untuk mengabdi. Namun yang kita pikirkan terkait kesehatan bapak dan tidak mungkin kita terus mem-presure bapak secara terus-menerus demi kemajuan bendera kita bersama."

Tampaknya kita saja yang mengigau di siang bolong. Terlepas dari itu semua mungkin karena ada semacam ketidakrelaan dan ketidakberdayaan untuk melepas baju pemimpin.

Semoga saja kita tidak menzolimi diri kita sendiri dan orang tua kita yang sudah menjatuhkan keringat berkali-kali untuk masa depan anak-anaknya dalam melawan kebodohan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mursyidah Auni

Awal dalam mengawali kegiatan (Fatihah)

Reti Suryani