Sungkan-isme


 


Kata sungkanisme sebenarnya tidak atau belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kata tersebut sengaja saya tulis dan saya ada-adakan sendiri dalam artikel pada blog ini. Apakah boleh begitu? apakah hal tersebut tidak menyalahi tatanan dalam dunia kebahasaan? Saya rasa tidak! Karena sifat bahasa adalah arbitrer (sewenang-wenang, manasuka). Setiap kali orang hendak berbahasa sebenarnya manasuka dan terserah orang yang mau mengucapkan, hal yang terpenting dalam berbahasa adalah bisa diterima oleh lawan bicaranya (audience) dengan baik atau yang bisa kita sebut dengan komunikatif. Kalau semisal orang yang kita ajak bicara tuna rungu atau tuna netra bagaimana? Mohon maaf, itu pengecualian teman-teman pembaca.

Sungkanisme sebenarnya adalah gabungan dari kata sungkan yang mendapat akhiran (sufiks) -isme. Mengapa kata tersebut saya gabung? karena biar judul lebih menarik dan terlihat simpel saja sih. Soalnya pernah saya baca dalam sebuah artikel di Google bahwa kalau membuat judul bacaan itu harus bisa menarik minat dari pembaca. Walhasil, sering kali judul pada blog ini saya buat semenarik mungkin dan kekinian biar pembaca tidak bosan-bosannya untuk membaca. Dan lagi kita terus mengupayakan, mengusahakan, serta mengistikamahkan untuk tetap membudayakan meng-iqra' seperti anjuran dalam QS. Al Alaq.

Menurut KBBI arti sungkan yaitu malas (mengerjakan sesuatu); enggan; merasa tidak enak hati; menaruh hormat; segan. Sedangkan -isme sendiri itu akhiran (sufiks ). Akhiran -isme berasal dari Yunani -ismos,  Latin -ismus, Prancis Kuno -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan. Beberapa agama yang bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks-isme (sumber; Wikipedia). Jadi tinggal kita gabung saja kata sungkan yang mendapat akhiran -isme tersebut. Bisa kita artikan bahwa sungkanisme adalah suatu paham atau ajaran atau kepercayaan yang mengusung rasa tidak enak hati dalam konteks komunikasi kita terhadap lawan bicara karena mungkin kita merasa orang yang kita ajak bicara tersebut memiliki sesuatu yang lebih dibandingkan kita. Semisal lebih tinggi kedudukannya, derajatnya, pangkatnya, ilmunya, maupun faktor usia.

Lah terus apakah kita tidak boleh sungkan apabila berkomunikasi dengan mereka? Mungkin lebih tepatnya bukan sungkan, akan tetapi kita lebih mengusahakan untuk menempatkan diri dalam berposisi secara proporsional bahkan berupaya profesional. Terlebih lagi, sering kali kita kalau mau menemui orang yang mungkin usia, jabatan, pangkat, mereka lebih tua/tinggi dari kita, cenderung kita sudah minder di awal. kalau sedikit nerves masih oke lah ya! akan tetapi kalau sudah down (jatuh) dan bahkan pesimis di awal, rencana apa yang kita susun dengan rapi tiba-tiba berubah menjadi hal yang kurang memuaskan karena tujuan kita tidak tercapai dan tergapai. Kalau diurut-urut secara nasab, bisa jadi sungkanisme masih ada hubungan sanak saudara dengan mental kita, atau mungkin kemungkinan itu benar. Hehe... Masak mental punya nasab? Ada-ada saja penulis ini.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya sungkanisme ini sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti komunikasi anak dengan orang tua, murid dengan guru, junior dengan senior, mahasiswa dengan dosen, atau bahkan orang di luar sana yang berkomunikasi dengan orang berbaju serba putih. Apakah nanti semisal kalau kita mempunyai pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan mereka, kita dianggap pemberontak? Atau mungkin dicap golongan kiri? Atau ilmunya nanti tidak bermanfaat? Saya rasa kita kembalikan ke konteks awal bahwa manusia itu sebenarnya sama, cuma yang membedakan adalah ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Kira-kira yang tahu bahwa seseorang itu bertaqwa atau tidak apakah manusia yang menentukan? saya rasa tidak! cuma saja, mereka menang dulu, menang di awal! seperti hanya perbedaan pelajaran kelas 1 pasti beda dengan pelajaran kelas 5, toh sebenarnya Tuhan juga telah memberi kita akal untuk berpikir, Hanya dengannya kita bisa menelaah, menganalisis, serta belajar untuk mencapai sebuah kebenaran, meskipun pada hakikatnya kebenaran hanya milik Allah SWT. Dan jangan sekali-kali memandang orang hanya dari sebuah simbol!

Semua datangnya kebenaran hanya,oleh, dan dari Allah SWT, dan kesalahan hanya dari saya sendiri. Ini sebatas auto kritik bagi saya pribadi, kalau pun teman-teman pembaca tidak suka atau tidak ada kecocokan dengan tulisan ini, itu hak pribadi pembaca untuk tidak suka dengan tulisan ini.

Billahi fi sabililhaq
Fastabiqul Khairat


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belok Kiri Jalan Terus

'Jajane Si Mak' (Jajan Pasar)