Gorengan






Sebelum kita mulai menceritakan tentang judul di atas, kita memohon maaf dulu yang sebesar-besarnya kepada jemaah pembaca tulisan ini atas salah dan kekhilafan jika yang kita suguhkan adalah makanan khas dari pelosok desa yakni gorengan. Mengapa kok tidak fried chiken, pitza, pasta, susi atau makanan impor lainnya saja? Alasan salah satunya adalah kita lebih cinta produk lokal dan berusaha mengangkat makanan khas pedesaan. Terkait salah dua, tiga, dan seterusnya, Maaf tidak bisa kita sebutkan. Heuheu......


Maklumlah, sebagai anak udik dan terpencil kita hanya bisa menyuguhkan judul gorengan, karena tak pantas juga kita terlalu membangga-banggakan makanan yang bukan produk anak bangsa bahkan dari bangsa-bangsa kolonial ketika menu makanan kita sehari-hari tak luput dari tahu dan tempe terkadang ikan berkepala dua juga. Sori ya...Nggak level. Hihi...


Lain dulu, lain sekarang. Dulu, gorengan dimaknai dengan makna yang sebenar-benarnya yaitu penganan yang cara pembuatannya digoreng bukan direbus apalagi dibakar.  Ya iya... lah, namanya juga gorengan! Bukan rebusan atau bakara. Haha.. 

Semisal kita ambil contohnya saja adalah pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng, ketela goreng, dan makanan sejenisnya yang serba digoreng. Akan tetapi gorengan yang akan kita bahas pada tulisan ini bukan gorengan tersebut, Gorengan ini sangat berbahaya, di lain sisi gorengan ini memberi efek keuntungan dan terkadang malah banyak yang merasa dirugikan.
Waduh....apaan itu ya?Kok gorengan bisa begitu? penarasan saya! Eh...penasaran. Hehe ..


Sekarang ini, kata gorengan telah mengalami pergeseran makna secara luas ketimbang makna aslinya. "Apaan sih loe bang? Nggak jelas banget! Kata gorengan aja harus bergeser pada makna sebelumnya segala!"

"Nah kan! Kamu mulai ragu dan tak percaya kepadaku."  Xixixi.....Tenang saja, meskipun engkau kritik atau berkomentar yang tak mengenakkan untukku dalam tulisan ini, engkau tak akan dihilangkan atau ditenggelamkan kok! (Sedikit sarkasme)


Wes, begini saja! Ketimbang tulisan ini terlalu panjang seperti rel kereta api, nanti tak ada orang yang mau membaca! (Padahal terkadang tulisan sedikit pun, jarang juga orang membaca). Bertanya-tanya???


Gorengan di sini bisa diartikan sebagai sebuah bahan candaan ketika mengolah kata per-kata menjadi sebuah kalimat bahkan mampu menjadi paragraf per-paragraf dengan ketentuan agar kepentingan dari seseorang (penjual gorengan) tersebut bisa tercapai dalam mentransfer sebuah makna kepada lawan bicaranya. Gorengan ini bisa dijual kapan pun dan dimana pun. Menggoreng apa-apa saja yang bisa digoreng!
Menggoreng dimana-mana saja untuk bisa tetap menggoreng! Asalkan lidah tidak sedang sariawan saja! Hehe....


Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. menyambung dari paragraf ketiga yang kurang lebih artinya sama yaitu lain dulu, lain sekarang. Ketika dahulu gorengan biasanya dijajakan di desa-desa, sekarang sudah menjamur di kecamatan, kabupaten, kota, propinsi, negara bahkan bisa juga di seantero. Hore...gorengan sudah mendunia (go internasional) sekarang!Wkwkwk....


Orang-orang tetap sibuk dalam menjajakannya! Tak hanya sekadar offline, gorengan pun sekarang bisa dinikmati secara online, bahkan sangat bisa banget...Nget...Nget...Nget..(3X Nget)


Asal jangan pirus ikut-ikutan digoreng juga ya! Haha....Kasihan nenek dan kakek saya sudah tua!
Dia sering ketakutan bila mendengar pirus


Gorengan pun sekarang sudah berkembang serta banyak variannya loh! Wah emang keren gorengan ini! Gorengan ini bisa disajikan dalam bentuk virtual maupun audiovisual.Baik secara nyata maupun secara maya. Memang luarbiasa gorengan saat ini!


Ah...Gara-gara cerita gorengan kok malah saya yang jadi lapar ya! kok kepingin gorengan ya? Hihi...
"Sana bang, beli aja di warungnya bu Ngatemi! Kasihan, akibat pandemi sangat berefek bagi ekonomi keluarganya. Apalagi dia kan janda tua bang!"
Uh...terharu!!!


                      S   e   k   i   a   n

#Hidup_Gorengan #Hidup_Hidupilah_Ekonomi_Rakyat
#Hidupdibawahnegaralain
#Janganhidupdanmematikan

Di rumah saja, 28 Mei 2020


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mursyidah Auni

Awal dalam mengawali kegiatan (Fatihah)

Reti Suryani